Rp. 46.000
Filantropi
- Hukum 8 (Suatu-Waktu)
Cetakan pertama : Juni 2016
Ukuran : 13x19 cm
Tebal : 261 hlm
Penulis : Tari Akbar
Editor : SN Ilmiyah
Layout : SN Ilmiyah
Cover : Tim Oksana
ISBN 978-602-6235-72-5
------
CARA ORDER
KETIK JUDUL-JUMLAH-NAMA-ALAMAT
kirim ke 083831498380
-------
“Tangkap mereka,” komando datang. Gerak itu tertuju kepada kami berdua.
“Lari, Rafa,” teriak Medi. Waktu terasa melambat. Aku langsung berbalih
arah. Menyesuaikan gerakku dengan medan tanjakan ini.
Entah mengapa, lari kami semakin bertambah cepat. Di dorong
oleh ketakutan benar-benar di luar kendali. Keadaanku dan Medi semakin
mencekam, bisa saja nanti atau tidak secepat mungkin kematian akan menjemput
kami. Dalam pelarian ini, aku berbalik arah sejenak. menatap segerombolan orang
yang membawa obor itu. Jarak mereka semakin mendekat. Mungkin mereka sudah
terbiasa dengan medan ini.
Aku dan Medi masih berlari. Hanya itu yang kami bisa perbuat
sekarang. Andai saja aku punya keberanian dan pemahaman seperti Ilham, aku akan
berhenti dan melawan mereka. Namun nyatanya tidak. Selain ketakutan itu, ada
nuansa yang lebih kuat untuk mendorongku untuk tetap memacu langkah.
“Ranum, andai aku sempat mengatakannya,” ucapku pelan sambil menatap punggung Medi.
“Katakanlah, jika nanti kau memiliki kesempatan,” balas Medi. Aku benar-benar tak menyangka ia mampu
mendengar suaraku.
Maut sudah di ambang gerbang untuk memasuki kehidupan kami.
Lalu, untuk apa aku memikirkannya. Memasung harap dengan wanita yang mungkin
tidak menginginkanku.
Tunggu. Rasa-rasanya aku mengenal tempat ini. Tadi sore aku
dan Afandi baru saja menyusurinya. Tepat sekali, sambil berlari aku menatap
sekeliling. Tidak salah lagi, aku dan Medi telah berhasil melewati hutan
belantara. Tanah lapang yang mendaki, lebih tepatnya ilalang yang berserakan
dengan tinggi selutut akan menjemput kami. Lalu setelahnya, TIDAK.
Aku ingin menghentikan Medi, tapi tidak mungkin. dengan tas
sebesar itu ia masih mampu berlari lebih cepat dariku. Aku harus mengejarnya.
Kami sudah berada di belantara ilalang kecil ini.
“Medi,” teriakku. Namun Medi masih enggan menyurutkan langkahnya. “Jurang
di depanmu, Medi,” itulah teriakan yang mampu kuberikan kepada Medi. Suara
yang amat besar yang pernah kulepaskan seumur hidupku.
Lagi dan lagi. Medi seperti tak mendengarku. Ia terus berlari
dengan kecepatannya sendiri. Semuanya sudah di ambang batas. Aku melihat
punggung Medi, masih berlari. Terus melepas kecepatan maksimumnya.
“M.E.D.I!” aku berteriak sekali lagi. Tepat di mulut jurang itu.
Punggung Medi telah menghilang. “Medi,” aku
teriak dengan isakku yang membuat suaraku bergetar dan putus-putus.
0 komentar:
Posting Komentar