Harga : Rp. 29.000
BEBAS TERBATAS
Sebuah kumpulan cerpen
Cetakan pertama: April 2016
Penulis: M Zulfiyan Alamsyah
Editor : SN Ilmiyah
Layout : Oksana
Penata Cover : Oksana
ISBN 978-602-6235-21-3
----
CARA ORDER VIA SMS/WA
ketik JUDUL_JUMLAH_NAMA_ALAMAT
kirim ke 083831498380
---
BLURB
“Pak,
saya siap lomba!” Godaku mencoba menawar keputusannya.
“Apa?
Kamu tidak dengar apa yang bapak katakan kemarin?”
“Dengar,
Pak. Tapi kini aku
benar-benar siap.”
“Tidak,
lomba itu hanya kau dan Alfa saja peminatnya. Maka dari itu Bapak gagalkan.”
“Biarlah,
Pak. Walau hanya aku sendiri, tetapi aku benar-benar sanggup. Setidaknya untuk
meramaikan acara yang Bapak buat
ini.”
Perdebatan
terjadi antara aku dan Pak Rifin. Alfa tak membantuku dalam hal ini karena dia
telah mengibarkan bendera putih terlebih dahulu. Aku memohon, sangat-sangat
memohon dan Pak Rifin menolak, sangat-sangat menolak.
“Oke.
Kalau kamu memaksa, mana karyamu yang paling bagus! Biar Bapak ikut sertakan
dalam lomba kali ini.” Pinta Pak Rifin mengalah debat denganku. Tunggu apa
lagi, kuambil karyaku yang ia maksud dan berdiri di sampingnya sembari
tersenyum kecil.
Pak
Rifin membaca karyaku. Perlahan, ia terbawa. Satu per satu air matanya mulai menetes. Aku tak tahu? Apakah ia sadar karena puisiku yang berjudul ‘Pak Guru’
itu yang sengaja kubuat di dalamnya tentang dirinya setiap hari. Mungkin saja
dugaanku salah, tetapi ini adalah penghayatan yang bagus.
“Berdoa
saja!” Ucapnya tak kuat lagi mengeluarkan suara karena khawatir air matanya akan menetes lagi. Lantas ia pergi
meninggalkanku juga Alfa. Entahlah jika ia hendak pergi ke mana.
Matahari
selalu berputar pada porosnya, tak pernah sekalipun melanggar kecuali atas izin
Tuhan. Begitu juga dengan bulan yang yang memantulkan cahaya
matahari kala malam gelap menggulita. Lomba berlalu kemarin, sekarang aku
tengah menunggu kabarnya. Terdiam di samping
papan mading, duduk di kursi bambu penuh penghayatan dengan puisiku itu. Setiap
sesuara kuteliti, apalagi suara kaki yang mencurigakan, membuat hati tak sabar
untuk menunggu kabar itu. Perintah bapak kupenuhi,
doa telah kuucap komat-kamit.
Entah doa apa? Mulai doa tidur hingga doa makan telah khatam sesekian kali. Ini hanya sebagai penghormatanku
baginya, guru yang menyuruhku untuk berdoa.
Sesaat
papan mading itu sesak, penuh dengan siswa-siswa yang tak mau kalah hanya untuk
melihatnya, kabar dari Pak Rifin. Betapa terkejutnya aku setelah mendapati
informasi tersebut. Hendak bahagia, wajar. Sedih, wajar. Karena lomba itu hanya
diikuti diriku seorang.
“Informasi lomba puisi di lingkungan
sekolah kita. Juara 1, tak ada. Juara 2,
tak ada. Juara 3, tak ada. Juara favorit, Idan kusuma.”
Sesekali setelah melihatnya, beberapa siswa tertawa saat mengetahui isi
informasi tersebut. Malu rasanya, namun mau bagaimana lagi. Kuterima hasil ini
dengan bangga dicampuri sedikit kesedihan. Dapat ditebak jika mukaku kini tak
seelok hari kemarin. Menahan tangis di tengah kemenangan ini, itulah aku.
Sangat terasa sekali perjuangannya setelah memetik hasilnya, begitulah pepatah mengatakan ‘Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian.’
0 komentar:
Posting Komentar