Pernah
denger selentingan tentang pemasaran penerbit indie yang kurang WAW? Atau
bahkan dirimu sendiri yang dongkol karena tahu buku yang kamu terbitkan di
salah satu penerbit indie, hanya dipasarkan beberapa hari, lalu seperti
dilupakan begitu aja?
Nah,
di tulisan kali ini saya mau sedikit membuka pikiran kamu mengenai ‘keras’nya
dunia penerbitan.
Sebelum
mengirimkan karyamu ke penerbit indie, apa sih yang mendorongmu untuk
menerbitkan buku? Karena ingin populer kah? Ingin punya karya yang nyata kah? Ingin
karyamu dibaca orang kah? Atau ingin royalti melimpah? Atau malah ingin
semuanya?
Sebelum
mengirimkan karya ke penerbit, coba raba hati kamu, apa sih yang kamu cari? Kalau
sudah ketemu, kamu pasti juga akan tahu, ke mana kamu harus kirimkan karya
terbaikmu itu.
Jika yang kamu cari adalah... kepopuleran
Sebelum
benar-benar menjadi penulis, mungkin kamu pernah berkhayal bahwa kamu akan
menulis cerita-cerita dengan plot, ide, dan alur yang super dan banyak orang
mengagumi karya hebatmu itu. Jika itu yang kamu inginkan, kamu bisa menerbitkan
karyamu di mana saja. Kepopuleran sebuah karya bukan hanya terletak pada
hebatnya cerita saja, tetapi peran promosi juga sangat penting. banyak karya
yang terkesan hebat di luar sana karena promosinya begitu gencar, penulisnya
ngadain bedah buku untuk judul buku yang sama berkali-kali, padahal setelah
dibaca karyanya menurut banyak pembaca...biasa aja.
Begitu
juga dengan kepopuleran penulis. Penulis populer bukan terletak pada karyanya
saja lho, buktinya DY, penulis kontroversial di dunia maya beberapa waktu lalu
sempat sangat populer karena ke-PEDE-annya mempromosikan karyanya. Tak tanggung-tanggung,
cara promosinya juga lumayan ekstrim. Nah, kalo kamu ingin populer, jangan
lupa, kamu harus PEDE dan percaya bahwa karyamu itu luar biasa dan pantas
dibaca. Tentunya, tidak hanya dengan modal PEDE saja, kalau bisa karyamu juga
harus bagus dan bermutu. Menjadi penulis pendatang baru, selain pintar membuat
karya, kita juga harus pintar 'membeli' minat pembeli buku. Pembeli bukumu, pasti
akan kembali membeli buku-bukumu yang lain jika dari buku pertamamu yang mereka
beli, mereka sukai. Jika dari pertama membeli buku perdanamu dan cerita yang
kamu tulis masih acakadut, dijamin jika kamu menerbitkan buku lagi mereka pasti
NGGA AKAN MAU BELI!
Jika yang kamu cari, hanya ingin berkarya dan karyamu bisa dibaca
orang...
Jika
kamu berniat menulis buku hanya karena agar ingin dibaca orang, sebetulnya
tidak diterbitkan menjadi sebuah buku pun juga pasti akan dibaca. Misalnya,
tulisanmu kamu posting di media sosial,
sudah pasti karyamu akan dibaca. Kalaupun tidak pernah dipublikasikan dan kamu
berniat mengirimkan ke penerbit indie untuk diterbitkan menjadi sebuah buku, minimal
karyamu sudah dibaca oleh dua atau tiga orang editor penerbit sekaligus.
Tipe-tipe
penulis seperti ini memang tidak gila pamor dan royalti. Bagi mereka, karya
mereka sudah dibaca saja, itu sudah sangat cukup dan memiliki kelegaan
tersendiri. Nah, kalau mau yang lebih ekstrim agar karyamu dibaca banyak orang,
cetak bukumu sebanyak mungkin dan sumbangkan ke perpustakaan-perpustakaan atau
taman baca. Atauuu... rekomendasikan buku-bukumu tersebut di perpustakaan di
kotamu, jika bagus dan bermanfaat biasanya pihak perpustakaan akan meminta
cetakkan bukumu dalam jumlah yang banyak dengan dana dari mereka alias mereka
mau beli. Lumayan kan, ketulusanmu dalam berkarya pada akhirnya bisa
menghasilkan uang juga, tho.
Ada
lagi kisah teman-teman penulis yang semula hanya ingin agar karyanya dibaca
saja. Tapi, setelah penulis tersebut pede untuk menerbitkan karyanya ke
penerbit indie, penerbit indie yang baik hati tersebut menilai bahwa karyanya
sangat bagus dan layak untuk diterbitkan secara mayor. Alhasil, penerbit
tersebut membantu penulis untuk menghubungkan dengan penerbit mayor. Daaan,
terbitlah karyanya di penerbit mayor dan tersebar merata di toko buku seluruh
Indonesia.
Jika royalti melimpah yang kau inginkan...
Ketahuilah,
Kawan... penulis yang karya-karyanya tersebar di seluruh toko buku itu belum
tentu bisa menikmati royalti yang melimpah (kalau mereka tidak promosi ya
karyanya ngga ada yang beli. Kalau dalam dua minggu ngga ada yang beli sama
sekali, ya karyanya ditarik dari rak, ngga dipajang lagi), apalagi kita yang
menerbitkan secara indie dan hanya dipasarkan terbatas via media online. Dan tidak
menutup kemungkinan, penulis yang karyanya terbit secara indie, bisa mendapat
royalti jauh lebih besar daripada penulis-penulis mayor. Semua tergantung apa?
Semua tergantung kita, penulisnya. Jika di penerbit mayor, penerbit memang akan
membantu promo, tapi jangan senang dulu. Promosinya juga tidak akan lama, hanya
sebentar dan terbatas. Kenapa? karena yang terbit bukan HANYA KARYA KITA. Ada
banyak karya lain yang juga antre terbit dan harus segera dipromosikan. Tentunya
dengan waktu yang sangat terbatas pula. Bersyukur jika karyamu bisa terbit di
penerbit mayor besar, yang selain promo di media online, juga mengadakan bedah
buku sekaligus road show demi
mempromosikan sebuah karya. Ya, beruntung sekali...
Nah,
jika penerbit mayor saja juga memiliki keterbatasan waktu untuk mempromosikan
karyamu, apalagi penerbit indie yang notabene sangatlah ‘kecil’ dan ‘kerdil’. Hanya
dengan biaya kisaran 300-500 ribu, kamu bisa menerbitkan bukumu dengan
fasilitas lengkap. Dengan kisaran biaya segitu, ketahuilah kawan, keuntungan
yang mereka dapat juga sangatlah kecil. Biaya tersebut harus disunat
berkali-kali untuk cetak buku, biaya pengiriman, packing, jasa desain, jasa
layout, dll. Jika kamu berharap naskahmu yang terbit di penerbit ‘kerdil’
tersebut bisa dipromosikan terus-menerus, butuh berapa duit mereka buat isi
pulsa modem? Atau bayar tagihan internet. Sampai kapan harus promo, sedangkan
di belakang karyamu, masih banyak juga karya-karya lain yang menunggu untuk
dipromosikan dan beberapa sedang antre menunggu untuk disentuh, dari naskah
asli diolah menjadi sebuah buku fisik.
Mungkin
di dalam hati kamu dongkol tidak pernah ada laporan mengenai royalti dari
penerbit. Dengan nekad kamu bertanya , ‘royalti saya berapa?’. Perlu kamu tahu
juga, kadang-kadang pihak penerbit juga sangat berat sekali menjawabnya. Dibilang
belum ada yang beli, tapi kesannya kok ya ngenes
bangeet, padahal kenyataannya memang ngga ada yang beli. Jadilah dengan sangat
terpaksa, penerbit juga sering berbohong, dijawablah yang terjual dua atau tiga
eksemplar, dan penerbit rela ‘rugi’ untuk menyetorkan royalti ‘palsu’ tersebut
dalam bentuk pulsa ke nomor penulis.
Jadi...
jadi penulis itu kompleks kerjaannya. Ngga cuman sekadar nulis doang, tapi juga
ikut menentukan desain cover, revisi, hingga promosi. Kalau yang kalian
inginkan adalah berkarya, populer dan royalti melimpah, maka ke-kompleks-kan
tugas kalian bakalan nambah berkali-kali lipat. Perlu kita tahu juga,
penulis-penulis besar itu juga berangkat dari hal-hal ‘remeh’ yang mereka
pelajari dari waktu ke waktu. Beberapa dari mereka juga pasti pernah
menerbitkan indie, karya tidak laku, tidak ada royalti, atau bahkan ditolak
penerbit berkali-kali, dan sekali publish
karya dihujat sana-sini. Semuanya butuh proses.
Tapi jika kamu merasa bahwa
karyamu sudah hebat dan tidak pantas lagi terbit indie, maka jangan sungkan
untuk masukkan karya ke penerbit mayor dan jangan pernah takut DITOLAK. Nah,
kalo naskahmu sudah di-ACC penerbit mayor, selamat berjuang, karena itu adalah
awal perjuangan. Kamu akan tahu, bahwa masuk ke dunia penerbitan yang
sesungguhnya itu tidaklah mudah....
0 komentar:
Posting Komentar