Judul : Asa dan Perempuan Laut Senja
Harga : Rp. 33.000
Penulis : Asmirizani
Tebal : xii+126
Kertas : Bookpaper
Cover : Doff
ISBN : 978-602-6769-25-1
***
ORDER VIA SMS/WA
ketik judul-jumlah-nama-alamat
kirim ke 083831498380
***
SINOPSIS
Lihatlah di ranjang bambu itu, seorang perempuan tua pikun yang terbaring lemah. Ia istri Datok Rimba. Tusnia. Sesekali ia berteriak menyerukan “tanah adat”. Ngilu di hatiku merambat pada sekujur tubuh. Tergambar jelas ingatanku masa lalu yang memancing tetesan air mata. Kami yang hingga kini bertahan hidup dari hasil menoreh karet telah bersumpah untuk tidak menjual tanah Rimba. (Tanah Rimba)
Anak itu terdiam dan tercenung. Ia memandang kaca keluar jendela. Lembayung senja jatuh pada ujung hilir Sungai Pawan. Oranye air Pawan terpantul pada bola matanya. Berkaca-kaca. Ia memejamkan mata. Kilas kisah permainan totok kaleng kegemarannya seakan terlarang. (Ditapokkan)
Kopiah putih penuh noda ―buah tangan kenangan hidupku― itu tanpa kusadari telah melekat erat di kepalaku yang beku ini. Entah kapan kopiah itu berada di kepalaku? Kopiah itu terasa seakan mencekik dan terus mencekik kuat kepalaku. Kepalaku bagai mengecil dan remuk. Kepalaku sakit tak terperi. (Kopiah Kotor)
Kini ia merasakan hambar. Kekosongan melayang seketika bersama desau angin. terpaut pikiran yang tertumpu pada keinginan ibu. Keinginan yang tak pernah terbesit di benak. Keinginan untuk bisa megaji. "Asa malu, Mak. Malu...." bibirnya berucap.(Asa dan Perempuan Laut Senja)
Lihatlah di ranjang bambu itu, seorang perempuan tua pikun yang terbaring lemah. Ia istri Datok Rimba. Tusnia. Sesekali ia berteriak menyerukan “tanah adat”. Ngilu di hatiku merambat pada sekujur tubuh. Tergambar jelas ingatanku masa lalu yang memancing tetesan air mata. Kami yang hingga kini bertahan hidup dari hasil menoreh karet telah bersumpah untuk tidak menjual tanah Rimba. (Tanah Rimba)
Anak itu terdiam dan tercenung. Ia memandang kaca keluar jendela. Lembayung senja jatuh pada ujung hilir Sungai Pawan. Oranye air Pawan terpantul pada bola matanya. Berkaca-kaca. Ia memejamkan mata. Kilas kisah permainan totok kaleng kegemarannya seakan terlarang. (Ditapokkan)
Kopiah putih penuh noda ―buah tangan kenangan hidupku― itu tanpa kusadari telah melekat erat di kepalaku yang beku ini. Entah kapan kopiah itu berada di kepalaku? Kopiah itu terasa seakan mencekik dan terus mencekik kuat kepalaku. Kepalaku bagai mengecil dan remuk. Kepalaku sakit tak terperi. (Kopiah Kotor)
Kini ia merasakan hambar. Kekosongan melayang seketika bersama desau angin. terpaut pikiran yang tertumpu pada keinginan ibu. Keinginan yang tak pernah terbesit di benak. Keinginan untuk bisa megaji. "Asa malu, Mak. Malu...." bibirnya berucap.(Asa dan Perempuan Laut Senja)
0 komentar:
Posting Komentar